Dosa yang lebih besar
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
DOSA YANG LEBIH BESAR DARI ZINA
Kisah
ini mungkin sudah sering kita baca, tapi tidak ada salahnya dimuat sebagai
pengingat untuk menasehati diri.
Pada
suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung.
Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang
mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya.
Tanpa
hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang
ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang
tengah meruyak hidupnya.
Ia
melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya
pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam.
Maka
terdengarlah ucapan dari dalam “Silakan masuk”.
Perempuan
cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk. Air matanya
berderai tatkala ia Berkata, : “Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya.
Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya.”
“Apakah dosamu
wahai wanita ayu?” tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
“Saya
takut mengatakannya.”
jawab wanita cantik.
“Katakanlah jangan
ragu-ragu!” desak Nabi Musa.
Maka
perempuan itupun terpatah bercerita, “Saya… telah berzina.“
“Kepala
Nabi Musa terangkat,hatinya tersentak.
Perempuan
itu meneruskan, “Dari perzinaan itu saya pun…lantas hamil. Setelah anak itu
lahir,langsung saya… cekik lehernya sampai… tewas,” ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.
Nabi
Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, “Perempuan bejad,
enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena
perbuatanmu.“
“Pergi!”…
teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.
Perempuan
berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera
bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi
Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.
Ia
tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana
lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula
manusia lain bakal menerimanya?
Terbayang
olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya.
Ia
tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.
Sang
Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, “Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari
dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?”
Nabi
Musa terperanjat. “Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan
pembunuh itu?”
Maka
Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril, “Betulkah ada dosa
yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?”
“Ada!”
jawab Jibril dengan tegas.
“Dosa apakah itu?”
tanya Musa kian penasaran.
”Orang yang meninggalkan
sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal.“
“Orang itu dosanya lebih
besar dari pada seribu kali berzina”
Mendengar
penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali
kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada
Allah untuk perempuan tersebut.
Nabi
Musa menyadari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa
penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak
wajib dan tidak perlu atas dirinya.
Berarti
ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap
Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.
Sedang
orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih
mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan
kepada-Nya.
Itulah sebabnya Allah pasti
mau menerima taubatnya.
(Dikutip
dari buku 30 kisah teladan – KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam
sebuah mejelisnya bersama Abu Dzar, Rasulullah pernah memberi nasehat berikut :
“Wahai Abu
Dzar, hindari dari perlakuan ghibah (menggunjing) karena dosanya lebih berat
dari pada zina”
“Ya Rasulullah apa
itu ghibah?”
“Ghibah yaitu
menyebut-nyebut saudaramu dengan yang tidak disukai.”
“Ya Rasulullah
walaupun sesuatu itu ada pada dirinya”
“Ya apabila
kau sebut-sebut aibnya, maka kau telah menggunjing nya; namun bila kau sebut
aib yang tidak ada pada dirinya maka kau telah memfitnah nya.”
Ghibah
atau
menceritakan aib orang lain zaman sekarang bukan dianggap salah bahkan sudah
menjadi tradisi dalam masyarakat kita.
Media
memberikan dukungan sepenuhnya, lihatlah siaran TV, acara pergunjingan mendapat
respon yang bagus dari masyarakat itulah sebabnya kenapa acara-cara yang
membongkar kesalahan orang lain tetap eksis dan semakin lama acara sejenis
semakin beragam.
Mulai
dari masyarakat kecil di warung kopi sampai dengan tingkat elit politik
menjadikan pergunjingan menjadi suatu hal yang biasa, menjadi sarapan pagi yang
apabila ditinggalkan rasanya ada yang kurang.
Padahal
Rasulullah mengingatkan kita betapa buruk dan besarnya dosa dari menggunjing
sehingga dosanya lebih besar dari berbuat zina.
Ketika
Aisyah menyampaikan perihal Sya’iyyah, kepada Nabi bahwa Sya’iyah itu orang
yang pendek, begini dan begitu. Nabi menjawab, “Wahai Aisyah kau telah
mengucapkan kata-kata apabila dicampurkan air laut maka kata itu akan
mengubahnya”.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak
ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah
dua ayat saja. Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ
تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya,
kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam
: 59-60)
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu
‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’
dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat
menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam
ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat
bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya
orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu
dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang
berdosa.
Tempat
ini (ghoyya)
yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun
tempat orang-orang kafir.
Pada
ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا
”kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”
Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai
taubat untuk beriman.
Dalam
ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama.” (QS. At
Taubah [9] : 11)
Dalam
ayat ini, Allah Ta’ala
mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti
jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang
yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara
sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman
itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat
beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari
Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara
seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim
no. 257)
Dari
Tsauban radhiyallahu
‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ
وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara
seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath
Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih.
Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Diriwayatkan
dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ
الصَّلاَةُ
”Inti (pokok) segala
perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825.
Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih
wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa
shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan
kemah.
Kemah
tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan
islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar