Rabu, 26 September 2012

Gibah Haram tapi Diminati

GHIBAH HARAM TAPI DIMINATI

Ghibah atau dalam bahasa sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak.
Syaitan telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim:
“Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman, atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”
Jika kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini diakuinya atau tidak.
Kekejian Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan masyarakat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’
Mereka mengatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’
Nabi bersabda:  ‘Membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’
Ada orang yang bertanya: ‘Bagaimana jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’
Beliau menjawab: ‘Jika apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).”
[Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim (XVI/142)]
Dan Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:
Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Imam an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat, maupun dengan kode.”[2]
Ghibah tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat, kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud yang diinginkan.
Semisal meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]
‘Aisyah berkata:  “Aku menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi.
Maka Nabi berkata “Aku tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan sekian banyaknya.”
[Hadits shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223), lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]

Ghibah adalah Dosa Besar

Dari penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil (menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata,  “ Berikan izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4]  Juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5]Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]
Ghibah jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”  [QS. Al-Hujurat: 12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan kepada kita tentang larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka dan dada mereka sendiri.
Lalu aku bertanya: ‘Wahai Jibril, siapakah mereka itu?’
Jibril menjawab:  ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan melanggar kehormatan orang lain.”
[Riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]
Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.”
[Hadits shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul Jami’ (VI/308 no. 3549)]
Hadits di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang munafik, bukan ciri orang mukmin.
Di dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa billah…[7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar