GHIBAH HARAM TAPI DIMINATI
Ghibah atau dalam bahasa
sehari-hari biasa disebut ‘gosip’ atau ‘ngrumpi’, adalah aktivitas yang ‘luar
biasa mengasyikkan’. Bagaimana tidak, kita sudah melihat banyak orang yang
terjatuh dalam perbuatan ini baik secara sadar ataupun tidak.
Syaitan
telah begitu indah menghiasi perbuatan ini, jadi terkadang sekelompok orang
yang sedang berghibah tentang saudaranya sambil tertawa-tawa, tidak sedikitpun
menyadari bahwa mereka telah memakan bangkai saudaranya sendiri.
Salah
satu bagian tubuh yang paling mudah menjerumuskan manusia ke dalam lembah
maksiat adalah lisan. Sungguh betapa ringan rasanya jika lisan digerakkan untuk
bermaksiat kepada Allah. Dan rasakan pula betapa beratnya mengajak lisan untuk
taat kepada Allah. Demikianlah hakikat lisan, sebagaimana dikatakan Abu Hatim:
“Lisan memiliki peraba tersendiri
yang tidak hanya digunakan untuk mengetahui rasa asinnya makanan dan minuman,
atau panas dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila
telinga mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan
menjadi sangat tanggap pula apabila melihat suatu kejadian, baik atau
buruk. Lisan dengan mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang
menyentuhnya. Ingatlah lidah itu tak bertulang.”
Jika
kita ingin mengetahui isi hati seseorang, maka cukuplah kita memperhatikan
lisannya. Karena ucapan lisan akan menunjukkan isi hati seseorang, baik hal ini
diakuinya atau tidak.
Kekejian
Berupa Memakan Bangkai Saudara Sendiri Ghibah adalah salah satu dari sekian banyak
penyakit lisan yang berbahaya dan kini telah merebak luas di kalangan
masyarakat.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan ghibah dengan sabda beliau
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu,
Apakah kalian tahu apakah ghibah itu?’
Mereka
mengatakan: ‘Allah
dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’
Nabi
bersabda: ‘Membicarakan
sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu.’
Ada
orang yang bertanya: ‘Bagaimana
jika apa yang aku katakan itu benar ada pada dirinya?’
Beliau
menjawab: ‘Jika
apa yang kau katakan itu benar ada pada dirinya, maka berarti kamu telah
mengghibahinya. Namun jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada dirinya
maka kamu telah berdusta atasnya (memfitnahnya).”
[Hadits
shahih, riwayat Muslim (IV/2000), lihat juga Syarah Nawawi fi Shahih Muslim
(XVI/142)]
Dan
Allah juga telah mengisyaratkan para pelaku ghibah sebagai orang-orang yang
memakan daging bangkai saudaranya sendiri, dalam firman-Nya:
Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.
Al-Hujurat: 12)
Imam
an-Nawawi mendefinisikan ghibah dengan berkata, ”Ghibah adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai
orang lain, baik berkaitan dengan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan,
akhlak, harta, anak, istri, pembantu, gaya, ekspresi rasa senang, rasa duka dan
sebagainya yang berkaitan dengan dirinya, baik dengan kata-kata yang gamblang,
isyarat, maupun dengan kode.”[2]
Ghibah
tidaklah hanya dengan kata-kata saja, akan tetapi seluruh perbuatan yang
menyebabkan orang lain bisa faham terhadap hal yang tidak disukai oleh orang
yang dighibahi/dipergunjingkan, meskipun berupa sindiran, perbuatan, isyarat,
kedipan mata, celaan, tulisan dan segala sesuatu yang mampu menjelaskan maksud
yang diinginkan.
Semisal
meniru gaya berjalan seseorang. Itu semua termasuk ghibah bahkan lebih
berbahaya daripada ghibah dengan kata-kata karena perbuatan tersebut mampu memberikan
gambaran dan penjelasan yang lebih gamblang.[3]
‘Aisyah
berkata: “Aku
menirukan gerakan seseorang di hadapan Nabi.
Maka
Nabi berkata “Aku
tidak suka menirukan gerakan seseorang meski aku mendapatkan upah sekian dan
sekian banyaknya.”
[Hadits
shahih, riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223),
lihat juga Shahihul Jami’ (V/31)]
Ghibah adalah Dosa Besar
Dari
penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa ghibah adalah menceritakan keadaan
atau perkara seseorang kepada orang lain dan orang yang dijadikan objek
pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Namun, tidak jarang dalam
pembicaraan itu ada bagian-bagian yang ditambah atau dikurangi, dan apabila
yang dibicarakan ini tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, maka orang
berbicara ini dikenai dosa sebagai seorang pendusta.
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Ghibah
adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan
dalam hal yang maslahatnya lebih kuat, seperti dalam masalah jarh wat ta’dil
(menerangkan kualitas perawi hadits) dan nasihat, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika seseorang yang tidak baik akhlaknya
meminta izin untuk bertemu dengan beliau, maka beliau berkata, “ Berikan
izin untuknya, dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.”[4] Juga
seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah binti
Qais ketika dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm[5], Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Mu’awiyah adalah orang yang
sangat miskin dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat
dari pundaknya (yakni suka memukul).”[6]
Ghibah
jelas merupakan perbuatan yang haram dan terlarang, sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
Hai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [QS.
Al-Hujurat: 12]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengabarkan kepada kita tentang
larangan ghibah sekaligus ancaman bagi orang yang melakukan ghibah.
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan
sekelompok orang yang kukunya terbuat dari tembaga lalu mereka mencakar muka
dan dada mereka sendiri.
Lalu
aku bertanya: ‘Wahai
Jibril, siapakah mereka itu?’
Jibril
menjawab: ‘Mereka
adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia (melakukan ghibah) dan
melanggar kehormatan orang lain.”
[Riwayat
Abu Dawud dalam Sunan-nya (IV/269) dan Aunul Ma’bud (XIII/223) dan Ahmad dalam
Musnad-nya (III/224), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arnauth
dalam kitab Al-Adzkar Imam Nawawi hal. 29. Lihat juga Shahihul Jami’ (V/51)]
Dari
Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Wahai sekalian orang yang baru beriman di mulut
saja, yang keimanan itu belum masuk ke dalam relung hatinya, janganlah kalian
menggunjing kaum muslimin atau mencari-cari kejelekannya. Sesungguhnya
orang-orang yang mencari-cari kejelekan orang beriman maka Allah akan
mencari-cari kejelekannya. Barang siapa yang kejelekannya dicari-cari oleh
Allah, maka Allah akan mempermalukan dirinya di rumahnya.”
[Hadits
shahih, riwayat Abu Dawud (IV/270) dan Ahmad (IV/421, 424). Lihat juga Shahihul
Jami’ (VI/308 no. 3549)]
Hadits
di atas mengingatkan bahwa menggunjing seorang muslim termasuk ciri khas orang
munafik, bukan ciri orang mukmin.
Di
dalam hadits tersebut Allah mengancam akan membuka aib orang-orang yang
mencari-cari kejelekan kaum muslimin. Allah membalas mereka disebabkan oleh
perbuatan buruk yang mereka lakukan. Allah akan menyingkap kejelekan-kejelekan
mereka walaupun mereka berada di dalam rumah. Laa hawla wa laa quwwata illa
billah…[7]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar