Kamis, 29 November 2012

Penghitungan PPH Bagi Dokter



Penghitungan PPH Bagi Dokter

Seperti kita ketahui bahwa setiap Wajib Pajak yang menerima penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, wajib membayar atau melunasi Pajak penghasilan termasuk penghasilan yang diterima Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai profesi sebagai Dokter. Untuk itu pada artikel kali ini kami akan membahas tentang Penghitungan PPH Bagi Dokter (bagian 1).

Jenis penghasilan apa saja yang diterima Dokter dikenakan Pajak Penghasilan?

Dokter karena keahliannya atau kegiatannya dapat menerima penghasilan yang berupa :
1.     Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, sebagai pegawai tetap.
2.    Honorarium, komisi, atau fee sebagai tenaga ahli.
3.    Uang saku, uang presentasi, uang rapat karena dokter sebagai peserta kegiatan.
4.    Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya.
5.    Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek.

Bagaimana cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima dokter?

Untuk mengetahui berapa PPh yang harus dibayar atau dilunasi dokter atas penghasilan yang diterimanya, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa pembayaran atau pelunasan PPh dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu :

1. Pemotongan/Pemungutan oleh pihak pemberi penghasilan.
2. Penyetoran sendiri oleh Wajib pajak setelah menghitung dan memperhitungkan PPh terhutang selama satu tahun pajak.

Besarnya PPh atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya yang terkait dengan gaji, honorarium, komisi atau fee, hadiah, bonus, gratifikasi, uang saku, uang presentasi dan uang rapat, yang diberikan oleh pemberi kerja yang ditunjuk sebagai pemotong, ditentukan melalui penghitungan yang dilakukan oleh pemberi kerja tersebut.

PPh yang terhutang ini disebut juga dengan PPh Pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 di UU PPh. Tarif yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter (tenaga ahli) adalah :

1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Penghasilan Kena Pajak;
2. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan dan Pemotongan ditentukan sebesar 50% dari jumlah bruto; dan
3. Tarif 15% dari jumlah bruto (bersifat Final) khusus untuk penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir, uang lembur, imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apapun yang dananya berasal dari APBN/APBD serta yang menerimanya PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara golongan III/a ke atas atau Letnan Dua ke atas.

Cara penghitungannya sebagai berikut :

1. Atas Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, karena sebagai pegawai tetap.

Misalnya Dokter A (TK/-) pegawai tetap di RS X dengan gaji dan tunjangan sebulan Rp15.000.000,- PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja :
Gaji + Tunjangan setahun :
15.000.000 x 12 = Rp180.000.000,-

Pengurang :
• Biaya jabatan
(5%x jumlah bruto penghasilan setahun,
maksimal Rp6.000.000) = Rp 6.000.000,-
• PTKP Sendiri (TK/-) = Rp 15.840.000,-
Penghasilan Kena Pajak = (Rp180.000.000 - Rp 6.000.000 - Rp 15.840.000) = Rp158.160.000,-

PPh Pasal 21 terhutang setahun :
Tarif Pasal 17 x PKP = 5% x Rp 50.000.000,-     = Rp 2.500.000

15% x Rp108.160.000,- = Rp16.224.000 +
Total = Rp18.724.000

PPh Pasal 21 terhutung sebulan :
Rp18.724.000 : 12 = Rp. 1.560.333

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh pasal 21 dari Rumah Sakit X.

2. Honorarium, komisi atau fee, uang saku, uang presentasi, uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD ataupun yang bukan.

Misalnya Dokter A (PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000. PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :

15% xRp10.000.000 = Rp1.500.000,-

Pemotongan PPh Pasal 21 ini bersifat final atau tidak diperhitungkan lagi dengan penghasilan lainnya sehingga sudah selesai penghitungan PPh, namun tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya (melampirkan bukti potong PPh Pasal 21 tersebut).

Misal Dokter A (swasta) menerima uang presentasi yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000, dari Departemen Kesehatan. PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :

5% x (50% x Rp10.000.000,-) = Rp250.000,-

Dokter A (swasta) wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari Departemen Kesehatan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Misal Dokter A (Swasta ataupun PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium pada bulan Maret 2009 sebesar Rp30.000.000 dari Rumah sakit Z . PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :

5% x (50% x Rp30.000.000,-) = Rp750.000.-

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21.




Melanjutkan pembahasan mengenai Penghitungan PPH 
1), kali ini kami akan membahas hal-hal sebagai berikut :

a. Apabila seorang dokter menerima penghasilan karena pekerjaan atau jasanya bersifat berkesinambungan baik berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.


Misalnya : di bulan April 2009 Dokter A juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Z, dimana sebelumnya pada bulan Maret 2009 telah menerima Rp30.000.000,- sehingga jumlah kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari jumlah kumulatif tersebut adalah : 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- ,

Sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Z adalah :

5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp 5.000.000 = Rp 750.000,-
Total = (Rp 2.500.000 + Rp 750.000) = Rp3.250.000,-

Karena bulan Maret misalnya telah dipotong Rp750.000,-, maka bulan April PPh yang harus dipotong = Rp3.250.000 - Rp750.000 = Rp2.500.000

b. Jumlah penghasilan bruto bagi Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Misalnya :

Pasien A membayar tagihan Rumah Sakit Z sebesar 25 juta, dengan rincian uang obat Rp5.000.000,- dan uang jasa Dokter B sebesar Rp20.000.000,-. Rumah Sakit Z menerima bagi hasil dari uang jasa Dokter B sebesar 50% dari jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).

Rumah Sakit Z memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Dokter B dari jumlah penghasilan bruto Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil atau Rp10.000.000,-.

Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Z adalah :

5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-

c. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya.

Misalnya Dokter A (bukan pegawai tetap di PT X) menerima hadiah berupa tiket pesawat dan akomodasinya dari PT X senilai Rp50.000.000.

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi penghasilan :

5% xRp50.000.000 = Rp2.500.000,-

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari PT X dan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.

Apabila dari hadiah tersebut ternyata tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dari PT X, maka Dokter A wajib menghitung dan membayar sendiri Pajak Penghasilan dari hadiah tersebut di dalam SPT Tahunan PPh-nya.


d. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek.
Dokter yang menerima penghasilan dari membuka praktek dapat menghitung PPh melalui 2 cara yaitu pembukuan atau pencatatan.

•PEMBUKUAN
Laba usaha baik dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli di Rumah sakit/Klinik Kesehatan, didapat dari hasil laporan Rugi Laba. Apabila Untung maka atas keuntungan tersebut dikenakan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi dengan PTKP setahun.

Misalnya : Dokter A menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun :

Peredaran bruto/Omzet = Rp500.000.000

Pengurangnya :
Biaya operasional
(gaji pegawai, peralatan, Obat, listrik, dll) = Rp300.000.000
Penghasilan neto = Rp500.000.000 - Rp300.000.000 = Rp200.000.000

Apabila Dokter A sumber penghasilannya hanya dari praktek, maka PPh terhutang :
Penghasilan neto = Rp200.000.000,-
Pengurang PTKP (tk/-) = Rp 15.840.000,-
PKP = (Rp200.000.000 - Rp 15.840.000) = Rp184.160.000,-

PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp134.160.000 = Rp20.124.000,-
Total = (Rp 2.500.000 - Rp20.124.000) = Rp 22.624.000,-

•PENCATATAN
Laba usaha dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli, didapat dari peredaran atau penerimaan bruto (omzet) selama satu tahun dikalikan norma penghitungan penghasilan neto.(misalnya untuk praktek di Jakarta ditentukan norma penghasilan nettonya 45%). Hasil perkalian (Penghasilan neto) tersebut dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi PTKP.

Misalnya : Dokter A memperoleh penghasilan dari praktek di Jakarta dengan peredaran atau penerimaan bruto (omzet) setahun Rp300.000.000, dan dari Rumah sakit Z sebagai dokter tamu (praktek) Rp200.000.000,- (PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Rumah Sakit Z sebesar Rp 5.000.000,-).

Peredaran bruto setahun :
Rp 300.000.000,- + Rp 200.000.000 = Rp 500.000.000,-

Penghasilan Neto : Rp500.000.000 x 45% = Rp 225.000.000
Pengurang : PTKP (tk/-) = Rp 15.840.000
PKP = (Rp 225.000.000 - Rp 15.840.000) = Rp 209.160.000,-

PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp 159.160.000 = Rp 23.874.000.-
Total = (Rp 2.500.000 + Rp 23.874.000) = Rp 26.374.000,-

PPh yang harus disetor Dokter A ke Bank Persepsi atau Kantor Pos (diasumsikan Dokter A tidak memperoleh penghasilan lain pada tahun tersebut) adalah :
Rp 26.374.000 - Rp 5.000.000 = Rp 21.374.000,-
 

Tidak ada komentar: