BPHTB Sebagai Pajak Daerah
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) yang awalnya berdasarkan undang-undang nomor : 21 tahun 1997
sebagaimana telah dirubah dengan undang-undang nomor : 20 tahun 2000 merupakan
Pajak Pusat, namun setelah dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor :
PER-47/PJ/2010 tertanggal 22 Oktober 2010 ditegaskan bahwa mulai 01 Januari
2011 BPHTB berubah menjadi Pajak Daerah.
Secara umum pengenaan BPHTB dilatarbelakangi
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana tanah dan bangunan dalam penggunaannya
dapat mempunyai fungsi antara lain :
a. Fungsi sosial.
b. Fungsi ekonomi.
c. Fungsi sebagai papan/tempat tinggal.
d. Fungsi sebagai lapangan usaha.
e. Fungsi sebagai alat investasi.
Dengan melihat beberapa fungsi dari tanah dan
bangunan tersebut, maka mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan
harus melakukan pembayaran pajak yang dalam hal ini disebut Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Beberapa prinsip dasar dari pengenaan BPHTB
adalah :
a. BPHTB dikenakan berdasarkan system “self
Assessment” yaitu wajib pajak menghitung dan membayar sendiri hutang
pajaknya.
b. BPHTB menerapkan tarif tunggal yaitu
sebesar 5% (lima persen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP),
dimana NPOPKP merupakan selisih antara Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP)
dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
c. Sesuai dengan pengertian dari BPHTB yaitu
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, maka yang
menjadi obyek BPHTB adalah “Perolehan Hak” yang merupakan peristiwa hukum yang
dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi atau badan, dimana orang pribadi atau
badan tersebut disebut sebagai subyek pajak.